Monthly Archives: January 2013

Berawal dari Garasi Rumah, Kini Suteja dan Nanik Mampu Pekerjakan 200 Karyawan Lewat Virgin Cake & Bakery

Ketekunan dan kejelian melihat
celah pasar menjadi kunci sukses
pasangan suami istri, Suteja Alim
dan Nanik Sumiyati, berbisnis
bakery di Semarang. Dari garasi
rumah mereka, pasangan tersebut
membangun pabrik roti
berkapasitas besar.

Boleh jadi, Suteja Alim Wijaya dan
Nanik Sumiyati tak akan pernah
menyangka Virgin Cake & Bakery
tumbuh besar seperti saat ini.

Usaha yang bermula dari garasi di
sebuah rumah kontrakan 13 tahun
lalu itu kini menjelma menjadi
pabrik roti berkapasitas besar yang
mampu mengolah puluhan sak
tepung terigu setiap hari.

Beberapa tahun belakangan ini,
keberadaan gerai roti Virgin di
Semarang sangat fenomenal. Gerai
Virgin selalu terlihat ramai
pengunjung setiap harinya. Pamor
Virgin yang berada di suatu
kawasan perumahan, yakni
Tlogosari, pun terdengar sampai
jauh.
Pelanggan bakery itu berasal dari
berbagai penjuru kota. Bahkan,
tidak sedikit konsumen Virgin yang
datang dari luar Semarang, seperti
Ungaran, Kudus, Jepara,
Pekalongan, hingga Tegal.

Berangkat dari keinginan
mempunyai usaha sendiri dan hobi
membuat roti dan kue, Nanik
memutuskan untuk membuka toko
roti di rumahnya pada 1999. “Kami
memakai uang tabungan Rp 25 juta
untuk menyewa rumah, sekaligus
membuka usaha ini,” kata Teja,
panggilan akrab Suteja Alim.
Garasi rumah pun disulapnya
menjadi toko roti sekaligus tempat
produksi. “Bagian depan untuk
etalase, di belakang untuk
produksi,” ujar Nanik.

Selain menawarkan roti yang sudah
jadi, ia juga menerima pesanan dari
tetangga dan kenalan yang
bermukim di sekitar Tlogosari,
Semarang.
Pesanan pun makin sering
berdatangan lantaran kue dan roti
bikinan Nanik tidak mengecewakan.
Harga yang terjangkau juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi
konsumen. Berkat kedua hal ini,
toko roti Virgin pun terus
berkembang.

Hingga menginjak tahun keempat,
Teja melihat perkembangan pesat
gerai Virgin. Nanik, yang semula
hanya dibantu pembantunya, sudah
mempekerjakan puluhan karyawan.
Kala itu, Teja masih bekerja sebagai
pemasok bahan bangunan. Setelah
melihat Virgin berkembang pesat, ia
pun lantas berhenti. “Saat itu, saya
melihat perkembangan Virgin lebih
cepat daripada bisnis saya,
penghasilan saya pun bisa
tergantikan,” ujar dia.
Perputaran uang di bisnis bakery
ini lebih bagus ketimbang bisnis
bahan bangunan yang tempo
pembayarannya lebih lama. Apalagi,
ia melihat sang istri kewalahan
mengurus bisnisnya sendiri.

Dengan ilmu marketing yang
dimilikinya, Suteja lantas fokus
menggarap bisnis bakery bersama
istrinya. Ia sengaja membidik pasar
menengah ke bawah. Strategi ini
terbukti benar. Pasar menengah
bawah yang sangat besar saat itu
berhasil mendongkrak omzet Virgin.
Produk berkualitas dan harga
terjangkau menjadi keunggulan
gerai ini. Banyak konsumen
berpendapat, meski harganya
murah, kualitas roti dan kue Virgin
tak mengecewakan.

Apalagi, seperti gerai roti premium,
Suteja mengadopsi konsep
swalayan. Pengunjung bisa memilih
dan mengambil sendiri roti yang
telah disediakan dalam rak-rak.
Sejak 2003, nama Virgin pun
semakin terkenal. Bahkan, toko roti
ini menjadi buah bibir di kalangan
pengusaha bakery Semarang.

Banyak pesanan

Tak hanya penyuka roti, banyak
pula produsen bahan baku yang
berdecak kagum ketika melihat
riuhnya pelanggan Virgin. Selain
berlomba menjadi pemasok, mereka
memberi berbagai pelatihan untuk
mengembangkan produk Virgin.
“Chef mereka mengajari kami
bagaimana teknik memakai bahan
baku mereka,” kata Teja.

Kejelian membaca perilaku pasar
menjadi kunci Teja sukses di bisnis
ini. Ia rajin mengamati habit
(kebiasaan) konsumen dari hari ke
hari, sehingga memahami karakter
dan pola penjualan tiap-tiap hari.
“Itu penting untuk menekan jumlah
produk yang mubazir, karena roti
memiliki umur,” terangnya.

Ia pun tak segan bertanya langsung
kepada konsumen yang memesan
dalam jumlah banyak. Sering, ia
ikut mengantar pesanan konsumen,
sembari mencari informasi soal
produknya. “Ternyata, sekarang,
banyak orang yang ingin praktis,
ketika mempunyai hajat mereka
memberi roti sebagai buah tangan,”
ujar dia.
Tak heran, di musim orang banyak
mengadakan hajatan, Virgin selalu
kebanjiran pesanan. “Bahkan, roti
berbentuk ring yang banyak
dipesan, menduduki peringkat
teratas penjualan Virgin,” tutur
Teja.

Tak berhenti dengan
mengoperasikan satu gerai saja,
tahun lalu, Teja membuka gerai
Virgin kedua di Ungaran, Jawa
Tengah. Teja sengaja memilih luar
Semarang karena ingin menangkap
konsumen yang datang dari arah
selatan ibu kota Jawa Tengah itu. Di
cabang baru yang menempati lahan
seluas 1,1 hektare, Teja juga
mendirikan pabrik roti Virgin
kedua. Ia pun masih punya rencana
untuk membuka gerai baru di
kawasan barat Semarang.

Kini, dengan dua cabang, Teja
mempekerjakan lebih dari 200
karyawan di gerai maupun
pabriknya. Virgin mampu
mendulang omzet ratusan juta
hingga miliaran rupiah tiap bulan.
( J. Ani Kristanti )

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/tepat-pangsa-pasarnya-roti-teja-nanik-pun-meraja/2013/01/25

Wiranantaja, Mantan Cabin Boy Kapal Pesiar yang Kini Menjadi Raja Kipas Beromzet Milyaran

Niat, kerja keras serta sikap
pantang menyerah adalah modal
utama Ketut Wiranantaja merintis
dan membesarkan usaha pembuatan
kipas tangan. Kini, ia menjadi raja
kipas asal Bali. Ketenaran kipas
Wiracana pun bergaung hingga ke
luar negeri.

Sering sebuah keterpaksaan
berbuah manis. Apalagi jika
dibarengi dengan ketekunan dan
kerja keras. Ketiga modal itulah
yang mendorong Ketut Wiranantaja
sukses membangun bisnis kipas
berlabel Wiracana.
Memadukan pengerjaan mesin dan
keahlian tangan, jangan heran, jika
kipas Wiracana banyak diburu
kolektor kipas tanah air. Banyak
pula pejabat dan perusahaan yang
memesan kipas buatan Wira,
panggilan akrab Ketut Wiranantaja,
sebagai suvenir ketika ada hajatan
penting. Sebagian besar hotel
berbintang lima di Bali dan Jakarta
juga memiliki koleksi kipas
Wiracana.

Bahkan, kipas Wiracana juga
menghiasi etalase museum kipas di
London, Inggris. Tak hanya itu,
Wira juga mengirimkan kipasnya ke
Spanyol dan Jepang. Di Negeri
Matahari Terbit tersebut, kipas
Wiracana termasuk cenderamata
yang dijajakan di Skytree, menara
tertinggi di dunia yang berada di
Tokyo.

Kesuksesan Wira membangun bisnis
kipas tidak dicapai dalam waktu
singkat. Pria kelahiran 31 Januari
1954 ini membutuhkan waktu 25
tahun untuk membesarkan bisnis
kipasnya. Ia pun mengalami jatuh
bangun saat membesarkan bisnis
yang mulanya hanya dipandang
sebelah mata ini.

Pada 1978, setelah bekerja di kapal
pesiar berbendera Australia selama
tiga tahun, Wira pun memutuskan
pulang ke kampung halamannya di
Bali.  Meski saat itu menggenggam
banyak uang, ia sempat bingung
untuk memulai usaha.

Lantaran melihat perkembangan
bisnis pariwisata di Bali yang baik,
Wira pun tergerak mencoba
peruntungannya menjadi pedagang
acung, sebutan untuk pedagang kaki
lima di Bali. Rupanya, pilihan ini
tepat. Dari sini, ia melihat peluang
berbisnis kipas. “Biasanya,
wisatawan hanya mau membeli satu
patung, berbeda dengan kipas yang
sering dibeli dalam jumlah banyak,”
ujar dia.
Berbekal keyakinan itu, setelah tiga
bulan menjadi pedagang acung,
Wira memutuskan untuk
memproduksi kipas di rumah. Ia
menggunakan sisa tabungan hasil
bekerja di kapal pesiar, sebagai
modal. Karena hanya mengandalkan
tangan, produksi kipas Wira masih
minim. Wira hanya bisa
menghasilkan 20 kipas dalam
sehari.

Tak hanya dalam hal produksi,
awalnya, bapak tiga anak ini juga
menemui kesulitan dalam menjual
kipasnya. Wira menawarkan kipas
buatannya ke beberapa artshop di
Ubud, Tampak Siring, dan Goa
Gajah. Ia pun tak langsung
menerima uang hasil penjualan,
karena pembayaran baru dilakukan
setelah kipasnya laku terjual.

Ketekunan menjadi kunci sukses
bagi Wira merintis bisnis kipas. Ia
pun makin yakin bisnis kipasnya
memiliki prospek cerah ketika
penjualan makin baik. Hingga pada
1987, lulusan akademi pariwisata di
Denpasar ini mendirikan CV
Wiracana.Ia mendapat suntikan
dana bank senilai Rp 400.000.

Stres karena mesin

Berbekal dana segar itu, Wira
bergegas mencari mesin pembuat
kipas. Ia menyadari, produksi kipas
dengan cara tradisional memakan
waktu cukup lama. Lantas, Wira
pergi ke Surabaya untuk mencari
mesin pencetak kipas.

Sayang, usaha itu tak berhasil. Wira
pun mengaku sempat stres hanya
gara-gara tak mendapatkan mesin
yang bisa memilah kayu tipis-tipis.
Baru pada 1992, Wira mendapatkan
mesin pencetak kipas seperti
keinginannya seharga Rp 72 juta.

Kapasitas produksi kipas Wiracana
pun terus meningkat seiring dengan
banyaknya pesanan. Wira juga terus
menambah tenaga kerja hingga 15
orang. Pada 1993, kipas Wiracana
merambah Istana Negara, setelah
dipesan menjadi suvenir untuk
upacara peringatan Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus.

Perkembangan desain kipas pun
menuntut kebutuhan mesin laser
yang mahal sebagai pelengkap alat
produksi. Hanya saja, sang istri tak
mengizinkan Wira menjual sebagian
aset untuk membeli mesin baru.
“Saya sempat masuk ICU, stres
karena terus memikirkan mesin
baru,” tutur Wira.

Beruntung sang istri luluh.
“Akhirnya, saya jual mobil Mercy,
diler sepeda motor, dan ruko
karena harus punya alat produksi,”
kata Wira. Ia sendiri yang memesan
mesin tersebut sesuai dengan
idenya. Benar saja, berbekal mesin
canggih itu, kreasi kipas Wiracana
makin beragam.

Wira bisa membuat kipas perak,
kipas warna tradisional, kipas
dekorasi, kipas lukis dengan ukiran
dari tulang, kipas sutra polos, kipas
sutra lukis tangan, kipas cetak
kertas, kipas sutra batik, kipas
kerang laut, kipas sutra brokat.
Konsumen pun bisa dengan mudah
mengukir namanya di kipas.
Dan, pesanan makin deras mengalir.

Kini, dengan 175 karyawan, CV
Wiracana mampu memproduksi
25.000 kipas kayu dan kertas tiap
bulan. Harga kipas-kipas itu mulai
dari Rp 10.000 hingga Rp 17 juta
per buah. Tak heran, Wira bisa
menangguk omzet ratusan juta
hingga miliaran rupiah.

Tak hanya itu, Wira pun mendapat
banyak tawaran untuk membuka
gerainya di beberapa mal ternama
ibu kota.( Feri Kristianto)

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/si-cabin-boy-itu-kini-menjadi-raja-kipas/2013/01/22

Bermodal Minim, Kini Harry Jadi Jutawan Muda Lewat Batik Khas Jambi

Di
mana ada kemauan, pasti di situ ada
jalan. Peribahasa ini tepat
disematkan kepada Harry Akbar (21
tahun), perajin batik asal Jambi. Di
usianya yang masih sangat muda,
Harry sudah memiliki tekad yang
kuat untuk sukses menekuni bisnis
batik.

Tak sia-sia, ia kini sukses meraup
omzet dari bisnis di atas Rp 100
juta per bulan. Di bawah bendera
usaha Galery Batik Jambi Desmiati,
produk batik Harry diminati di
dalam dan luar negeri.
Usaha batik ini dirintisnya sejak
lulus SMA pada tahun 2009 di
Thehok, Kota Jambi. Hebatnya, saat
ini ia masih berstatus mahasiswa di
Universitas Jambi.

Ide bisnis ini didapat saat ia
memberikan hadiah kain batik
untuk guru-gurunya sewaktu lulus
SMA. Selain kain, ia juga
menghadiahi guru-gurunya
beberapa lembar baju batik buat
kenang-kenangan.
Setelah membeli pakaian batik itu,
Harry mulai berpikir kenapa tidak
memproduksi batik sendiri. Apalagi,
selama ini motif batik Jambi tidak
banyak variasinya. Mereka yang
memproduksi batik juga
kebanyakan orang-orang tua.
“Di situlah saya memutuskan
memulai usaha batik,” kata Harry.

Tidak mudah bagi Harry merintis
usaha ini. Terlebih, modal yang
dimiliknya juga sangat minim.
Guna mendapat modal, ia pun
membujuk orang tuanya untuk
menggadaikan sertifikat rumah ke
Bank Mandiri. Gayung bersambut.
Orang tuanya bersedia
menggadaikan sertifikat rumah.
“Saya pun mendapat pinjaman Rp
20 juta,” ujarnya.

Namun, Harry hanya menggunakan
Rp 15 juta sebagai modal awal.
Sisanya ia berikan ke orang tuanya
untuk keperluan lain. Pada awal
menjalankan usaha, Harry mulai
merasakan menjadi seorang
pengusaha dengan omzet yang tidak
stabil.
“Selama enam bulan pertama, total
omzet saya hanya Rp 85 juta,”
kenangnya. Memasuki tahun 2010,
Harry mulai mendesain sendiri
motif-motif batik yang
diproduksinya.

Untuk motif batik ini, ia fokus juga
mengusung tema flora dan fauna
khas Jambi. Di antaranya, motif
angso duo, motif belah duren, motif
batanghari, dan candi muaro Jambi.
“Semua gambar itu bisa ditemukan
di Jambi,” ucapnya.

Selain motif, Harry juga
memperkaya warna dengan pilihan-
pilihan yang disukainya. Hal itu
dilakukannya setelah mempelajari
selera pasar dalam waktu agak
lama.

Setelah yakin kualitas batiknya
diterima pasar, Harry mulai
merekrut karyawan guna
menggenjot produksi batiknya. Kini,
dalam sebulan, ia mampu
memproduksi lebih dari 400 potong
kain batik.

Harry memproduksi batik cap dan
batik tulis dengan rentang harga
mulai Rp 75.000 sampai Rp 10 juta
per piece. Produk batiknya sudah
merambah sejumlah kota di
Indonesia, seperti Jambi, Jakarta,
Medan, dan Banjarmasin.

Bahkan, Harry juga sudah
mengekspor produk batiknya ke
beberapa negara, seperti Paris,
Banglades, Dubai, Arab Saudi,
Malaysia dan Singapura.
Berkat kegigihannya ini, Harry
sempat masuk nominasi finalis
Wirausaha Kreatif Mandiri Kategori
Mahasiswa dan Program Diploma &
Sarjana pada pameran dan
penghargaan wirausaha muda
mandiri pekan lalu.

Di
usia
yang masih muda, Harry Akbar
sudah sukses berbisnis batik khas
Jambi dengan omzet ratusan juta
per bulan. Kendati omzetnya
ratusan juta, sejak awal merintis
usaha, ia tidak hanya memikirkan
keuntungan semata.
Harry ingin, bisnis yang dikelolanya
juga memberikan dampak sosial
bagi lingkungannya. Itu sebabnya,
sebagian besar karyawannya
merupakan orang kampung di
sekitar lokasi usahanya.

Rumah produksinya sendiri berada
di Kecamatan Thehok, Jambi. Ia
memfasilitasi masyarakat sekitar
untuk bekerja di rumah produksi
miliknya itu. Hal itu dilakukan sejak
tahun 2009 hingga sekarang. “Sejak
awal, saya memang ingin
mengangkat dan memberdayakan
masyarakat di sekitar tempat usaha
saya,” katanya.

Untuk mewujudkan ambisinya itu,
Harry pun gencar memberikan
pelatihan membuat batik. Pelatihan
itu mulai pembuatan motif, warna,
dan penjemuran kain.

Saat ini, total warga yang pernah
dilatih dan bekerja dengannya ada
75 orang. Kebanyakan dari mereka
merupakan orang yang sudah lanjut
usia (lansia), ibu-ibu rumah tangga,
dan para pengangguran.

Harry mengaku, keinginan
memberdayakan warga sekitar
sudah muncul sejak masih duduk di
sekolah menengah atas (SMA).
Keinginan itu tumbuh lantaran
melihat banyak orang kampungnya
menghabiskan waktu secara tidak
produktif.

Sebagian besar di antara mereka
adalah ibu-ibu rumah tangga dan
pensiunan pegawai. Padahal,
menurut Harry, mereka bisa
mengerjakan sesuatu jika diberikan
kesempatan.

Selain memberikan pelatihan, Harry
juga menyediakan semua bahan
dasar pembuatan batik. Untuk
memacu semangat kerja
karyawannya, ia menjanjikan
semacam bonus bagi karyawannya
yang mampu menyelesaikan
pekerjaan tepat waktu. “Itu untuk
memacu semangat saja supaya
mereka bekerja dengan giat,” ujar
Harry.

Selain memberdayakan warga
sekitar, Harry juga aktif membagi
pengetahuan dan pengalaman
bisnisnya di pelbagai tempat.
Kebetulan, ia sering diundang
menghadiri acara, seperti seminar
dan forum-forum pelatihan oleh
pelbagai kalangan.

Setiap ada kesempatan, Harry juga
tidak segan-segan mengajak
generasi muda di daerahnya untuk
mengikuti jejaknya menerjuni dunia
wirausaha.

Harry berharap, ke depan akan
banyak anak muda yang tertarik
berwirausaha. Menurutnya, ada
banyak manfaat dengan menjadi
wirausahawan. “Kita bisa membuka
lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Selain itu, menjadi wirausaha juga
bisa membantu menggerakkan roda
perekonomian daerah, dan
menambah pundi-pundi penghasilan
pemerintah daerah. Produk yang
dihasilkan juga bisa
memperkenalkan daerahnya kepada
banyak orang.

Memulai usaha dari nol, Harry
Akbar kini sukses mengelola bisnis
batik khas Jambi dengan omzet
ratusan juta per bulan. Namun,
kesuksesan itu tidak datang dengan
mudah. Beberapa kali ia menemui
kendala dalam menjalankan usaha
ini.

Di masa awal-awal merintis usaha
sekitar tahun 2009, usahanya
memang berjalan lancar. Bahkan
pada tahun 2010, omzet usahanya
sudah mencapai di atas Rp 100 juta
per enam bulan.

Namun, di awal tahun 2011,
pendapatan usahanya merosot dan
membuatnya harus berpikir keras
untuk membangun kembali
usahanya. “Waktu itu, ada
kelangkaan bahan baku, sehingga
saya kewalahan memenuhi
pesanan,” kenang Harry.

Akibat kelangkaan bahan baku itu,
omzet Harry turun hingga di bawah
Rp 85 juta dalam waktu enam
bulan. Ia pun tak sanggup
membayar gaji para karyawannya.
Saat itu, Harry mulai khawatir akan
masa depan bisnisnya. Terlebih,
pemasaran batiknya saat itu masih
terbatas di wilayah Jambi. Tetapi,
hal itu tidak membuatnya putus
asa.

Belajar dari pengalaman, Harry
mencoba bangkit dan fokus
membesarkan lagi usahanya yang
nyaris terpuruk. “Momen itu saya
manfaatkan untuk merefleksikan
ulang soal kekurangan dan
kelemahan dalam menjalankan
bisnis,” katanya.
Untuk membangun kembali
usahanya ini, Harry kemudian
meminjam lagi modal dari Bank
Mandiri. Pinjaman modal itu
dipakainya buat mengatasi kendala
bahan baku.

Dari segi produk, Harry juga mulai
melakukan diversifikasi dengan
memproduksi batik tulis. Ia juga
memilih terjun langsung ke
lapangan untuk mempromosikan
produk batiknya di pasar.
Pada akhir 2011, Harry mulai
membuka jalur pemasaran hingga
ke Jakarta. “Di Jakarta, saya
mempromosikan produk saya
secara door to door,” akunya.

Lewat jerih payahnya itu, Harry pun
berhasil membina hubungan baik
dengan sejumlah pemasok dan
distributor batik di Jakarta.
Dengan memiliki jaringan bisnis di
Jakarta, ia tak lagi kesulitan
memasarkan produk batiknya ke
kota-kota lain. Soalnya, agen di
Jakarta sudah memiliki jaringan di
sejumlah kota. Para agen itu juga
yang membantu mempromosikan
batik buatannya.

Selain di sejumlah kota di
Indonesia, popularitas batiknya kini
bahkan sudah sampai di
mancanegara, seperti Paris,
Banglades, Dubai, Arab Saudi,
Malaysia dan Singapura.
Berkat jaringan pasar yang luas,
omzet Harry pun sudah mencapai di
atas Rp 100 juta per bulan. Kendati
omzetnya sudah ratusan juta, ia
tidak lantas cepat puas. Ia masih
ingin membesarkan lagi usahanya.
“Saya ingin membuka gerai sendiri
di Jakarta,” katanya.

sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/harry-sukses-melewati-masa-sulit-3/2013/01/29

Sriwahyuni, Mulai Merintis Usaha Sejak Masih Mahasiswi, Kini Keripik Bawang-nya Hasilkan Laba Puluhan Juta

Jakarta – Siapa yang menyangka,
kalau bawang merah bisa jadi
produk makanan keripik dan
menghasilkan keuntungan puluhan
juta rupiah.

Adalah Sriwahyuni
mampu membuktikannya, dengan
bermodal kesungguhan dan
keberanian, ia bisa menciptakan
Bawang Berani Rumbia. Merek ini
mewakili keripik bawang, bawang
goreng dan bawang mentah.

“Ingat perkataan orang tua saya
dulu, ketika kamu mau berhasil,
dan tidak mau melakukan apapun,
maka kamu akan gagal. Tapi ketika
kamu mau berani, berusaha dan
melewatinya maka berhasil bisa
jadi kenyataan. Berani itu saya
coba terus dan membuat saya
percaya diri,” tuturnya kepada
detikFinance akhir pekan lalu.
Ia bercerita, usahanya dimulai
ketika masa kuliahnya akan
berakhir di Universitas Negeri
Makasar (UNM) akhir tahun 2011.

Dengan modal Rp 6 juta, Sri
kembali ke kampung halaman di
Jenepontoh, Sulawesi Selatan
untuk menggarap 1 hektar lahan
yang dimiliki orang tuanya.
“Awalnya program wirausaha
mahasiswa yang memerikan modal
buat saya Rp 6 juta,” ucapnya.

Lulusan Ilmu Pendidikan PPKN
tersebut memilih bawang merah
untuk ditanam pada lahan
tersebut. Alasannya, komoditas ini
bisa lebih tahan lama
dibandingkan dengan jenis lainnya
yang cepat busuk.
“Jadi kalau bawang merah
harganya turun, kan bisa disimpan
dulu, beda sama cabe atau
sayuran lainnya,” cetusnya.

Satu kali budidaya yang memakan
waktu 3-4 bulan, Sri mengaku
gagal. Ia bingung, bagaimana cara
mengolah dan mendapatkan
untung besar. Apalagi dengan
peralatan yang sedikit.
“Saya lihat, di daerah sana
makanan favoritnya adalah coto
kuda. Jadi saya pikir untuk
membuat bawang goreng beraneka
rasa, dan ternyata banyak
peminatnya,” ujar wanita
berzodiak Taurus ini.

Selanjutnya Sri mulai menemukan
titik terang, kegigihannya
menghasilkan panen bawang
merah mencapai 3.000 Kg. Alhasil,
selain bawang mentah dan bawang
goreng, ia juga mengolah keripik
bawang dengan adonan berbeda
dari biasanya dan dijual dengan
harga Rp 15.000/bungkus.

“Keripik bawang rasanya beragam
ada 7 rasa, ekstra campur,
barbeque, keju, balado, jagung
bakar,coklat, pizza,” terangnya.
Secara total, 4 kali budidaya Sri
telah mengantongi omset yang
tidak sedikit. Meski fluktuatif,
namun mampu meraup untung Rp
16 juta sampai Rp 20 juta per 4
bulan.

Wanita berusia 21 tahun ini
mengaku bahagia dengan hasil
usaha tersebut. Ia merasa cocok
dengan profesi sebagai pengusaha
dibandingkan harus menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun
karyawan perusahaan.
“Saya senang ngajar anak-anak
tapi nggak suka terikat. Saya lebih
kreatif dengan kondisi pengusaha,”
jawabnya.

Keripik bawang adalah produk
yang akan menjadi andalan Sri. Ia
menargetkan tahun ini akan
memasuki pasar moderen untuk
memperlebar kosumennya.
Sementara untuk bawang mentah,
ekspor keluar kota terus akan ia
maksimalkan.

“Bawang merah mentah itu sudah
ke Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat, Kalimantan. Kalau Keripik
bawang, masih baru tahap
pemasaran,” ujarnya.( Maikel Jefriando )

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2013/01/21/102710/2147992/480/wanita-ini-jadi-pengusaha-keripik-bawang-gara-gara-ikuti-wejangan-orang-tua

Dedih, Bermula dari 20 Ekor Indukan Kelinci, Kini Hasilkan 400 Kelinci Hias per Bulan dengan Omzet Puluhan Juta

Jakarta – Berternak bagi sebagian
orang mungkin suatu hal yang
merepotkan dan sering dipandang
tidak menjanjikan sebagai peluang
bisnis yang menguntungkan.

Padahal apabila jeli, lewat
berternak banyak orang yang
sukses dibisnis ini.
Yang menjadi masalahnya adalah
sejauh mana kita memanfaatkan
peluang atau bidang hewan apa
yang kita akan geluti untuk
dikembangbiakan.

Nah, ini ada kisah pengalaman
Dedih pemilik Rabbit Collection
yang sudah 10 tahun lalu
menggeluti bisnis ternak kelinci.
Hasilnya cukup lumayan.
Bermula dari lahan seluas 200
meter persegi dipekarangan
rumahnya kawasan Cianjur,
Puncak. Ia memberanikan diri
untuk membeli 20 ekor kelinci
indukan sebagai modal awal
usahanya.

Sekarang ini, dari 20 ekor indukan
kelinci itu sudah dihasilkan ribuan
ekor kelinci yang telah dijualnya
dan menghasilan jutaan rupiah
yang masuk ke kantongnya.
“Dulu saya memulainya dari 20
indukan, dari 10 induk kelinci
jantannya cuma 2, terus
berkembang sampai sekarang,”
ujar Dedih.

Dedih menambahkan sekarang ini
setidaknya setiap bulan, ia mampu
menghasilkan 300 sampai 400
kelinci yang dijual ke berbagai
kota di Indonesia terutama di
wilayah Jawa Barat dan sekitarnya
seperti Indramayu, Cikarang,
Cirebon dan lain-lain.

Kelinci yang dikembangkan oleh
Dedih bukan sembarang kelinci.
Tetapi kelinci-kelinci hias yang
memiliki daya jual yang tinggi,
meskipun ia juga mengembangkan
kelinci pedaging khususnya kelinci
lokal.
Yang menyenangkan dari beternak
kelinci, tingkat produktifitas dari
setiap indukan sangat tinggi.

Dalam 1 sampai 2 bulan setiap
indukan akan bisa hamil kembali
dengan jumlah anak kelinci setiap
kelahirannya mencapai 1 lusin
lebih. Dalam usia 2,5 bulan
kelinci-kelinci sudah siap dijual
kepasaran.
“Kawin dalam sebulan bisa terjadi,
keluar dari masing indukan paling
banyak 13 sampai 14 ekor, paling
jelek 5 atau 6 ekor,” ujar Aditya
Eka Yulian salah seorang rekan
Dedih.

Harga kelinci hias yang Dedih jual
bervarasi. Kelinci Anggora yang
harga termurahnya Rp 100.000,
kelinci Giant harga termurah Rp
150.000, kelinci Rax Rp 250.000,
kelinci Fuzilup Rp 300.000 dan
kelinci lokal yang hanya 50.000.
Dedih mengaku omset usaha
ternak kelincinya bisa mencapai
Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per
bulan. Dengan memiliki 4
karyawan yang setia
membantunya, ia berhasil menjadi
wirausahawan yang mampu
menciptakan lapangan kerja bagi
orang lain.
Untuk memulai bisnis ini, menurut
Dedih tidaklah susah. Yang penting
adalah ketelatenan dari peternak,
selain itu juga jangan lupa untuk
terus menimba wawasan mengenai
kelinci terutama dalam hal
persilangan spesies kelinci.

Dedih merinci, dengan bermodal
20 ekor kelinci indukan, yang
harga per ekornya mencapai Rp
500.000 sampai Rp 700.000 per
ekornya, ia sudah bisa memulai
bisnis ini. “Memilih indukan yang
baik itu sangat penting,” pesannya.

Namun jangan lupa, untuk
investasi ini juga harus
menyiapkan lahan dan kandang
yang cukup sebagai
tempat untuk berternak. Untuk
kandang bisa membuat kandang
yang sederhana yang terbuat dari
kayu dengan sirkulasi yang cukup
dan luas penampang yang
memadai.

Dengan modal kira-kira Rp 15 juta
untuk indukan dan kandang
sebenarnya sudah bisa memulai
bisnis ini. Sedangkan untuk urusan
pakan tidak harus pusing-pusing
karena dengan rumput-rumput
layu sudah bisa membuat kenyang
para kelinci.

Bagi yang tinggal diperkotaan
tidak perlu khawatir, Anda bisa
memanfaatkan sisa-sisa sayuran
dipasar seperti daun jagung bisa
menjadi pilihan pakan yang
digemari kelinci.

“Ternak kelinci biasanya
terkendala dengan angin dan
hujan, kelinci-kelinci bisa
kembung. Enggak usah diberi
makanan yang masih segar, justru
yang harus layu kalau seger
mencret,” timpal Aditya.

Dikatakan Aditya, untuk merawat
kelinci tidak rumit, yang penting
kebersihan kandang menjadi
nomor satu. Mengingat kelinci
sangat rentan dengan penyakit-
penyakit yang disebabkan
lingkungan yang kotor.

“Kebersihan kandang utama,
sehari sekali harus dibersihkan,
penyakit yang paling sering
menyerang hanya korengan, itu
kalau kandangnya tidak bersih,”
jelas Aditya.

Dedih dan Aditya mengatakan
bahwa prospek pasar kelinci di
Indonesia cukup bagus. Terlebih
lagi, sekarang ini hampir semua
usia dari anak-anak hingga orang
dewasa menggemari kelinci
termasuk kelinci hias.

Bagi yang mengembangkan kelinci
lokal untuk pedaging, tidak
masalah sebab sekarang ini
permintaan kelinci lokal dari
restauran-restauran cukup tinggi
terutama untuk sate kelinci.( Suhendra)

Tertarik untuk menggeluti ternak
hewan imut-imut ini, silakan
hubungi:
Dedih dan Aditya Eka Yulian
Rabbit Collection
Jl. Pasir Kampung Sukatani, Pacet
Cianjur Jawa Barat
HP 085624687993

sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/19/114339/990703/480/