Category Archives: Agribisnis
Ronald Sinaga, Mantan Direktur Sebuah Bank yang Resign dan Kini Sukses Lewat Peternakan Sapi Perah
Ronald H. Sinaga, Menggulirkan Revolusi Susu
Gila! Itulah kata yang hampir pasti
akan dilontarkan orang jika ada
seseorang yang nekat melepas profesi
terhormat berpenghasilan tinggi lalu
memilih tinggal di “kandang” sapi.
Tetapi Ronald H. Sinaga, justru memilih
langkah “gila” itu: melepas dasinya
sebagai bankir lalu menjadi peternak
sapi perah.
KAMPUNG Papakmangu di Desa Cibodas,
Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat, siang hari itu terlihat
berbeda daripada hari lainnya. Ratusan warga
tumpah ruah di halaman Sekretariat Kelompok
Peternak Sapi Perah Pasirjambu Ciwidey (KPPC)
Cipta Pratama. Mereka mengantarkan anak atau
anggota keluarga yang akan mengikuti khitanan
massal, pengobatan gratis, dan pembagian bingkisan.
Pengelola KPPC menjelaskan, kegiatan sosial
itu adaiah ungkapan syukur atas keberadaan
mereka sebagai perusahaan yang bergerak di
bidang peternakan sapi perah di Papakmangu.
Mereka ingin berbagi rezeki kepada warga yang
telah menerima kehadiran mereka.
Menurut ketua KPPC Cipta Pratama, Ronald
H. Sinaga, kegiatan tersebut merupakan momen
penting untuk meningkatkan rasa kebersamaan
antar peternak dan antara masyarakat dengan
KPPC. Apalagi KPPC tengah berupaya meningkatkan
kinerja mereka dan kesejahteraan peternak.
“Masih banyak peternak yang perlu didorong
untuk bergabung, selain itu kegiatan seperti ini
menjadi momen yang tepat untuk menyentuh
para peternak sapi yang nakal. Sebab masih ada
peternak yang sengaja menambahkan air pada
susu,” kata Ronald.
Ronald menekankan pentingnya kebersamaan bagi
para peternak sapi. Selain menjadi
media untuk saling belajar, kebersamaan merupakan
cara yang sangat efektif untuk saling
mengingatkan dan mengontrol. Lewat kebersamaan,
lanjut Ronald, para peternak bisa
saling membantu dan menguatkan, terutama ketika
menghadapi berbagai kendala usaha. Khususnya
kendala yang datang dari luar, seperti
perilaku kartel susu yang sangat merugikan.
PERJALANAN USAHA
KPPC Cipta Pratama adalah kelompok usaha yang
menghimpun para pelaku usaha mikro dalam
bidang peternakan sapi perah di
Parongpong dan Cibodas. Selain bergerak di
bidang pemerahan susu, KPPC juga terlibat
dalam pembuatan pakan, penampungan dan
pendinginan susu, serta pembuatan sejumlah
produk turunan susu.
Para peternak sapi sebenarnya sudah bergabung
dengan KPPC sejak tahun 1998.
Umumnya mereka melakukan usaha ternaknya
secara tradisional. Tak banyak yang dilakukan
untuk menghadapi berbagai masalah seperti
meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
permodalan, akses ke dunia perbankan, pemasaran,
serta kualitas ternak dan produk susu.
Baru setelah Ronald bergabung, tahun 2008,
sejumlah masalah ini mulai memperoleh jalan
keluar.
Saat ini, KPPC menampung 800 peternak sapi
perah yang memiliki 3.000-an ekor sapi. Terbagi
dalam 20-an kelompok, KPPC yang didukung
oleh 40-an karyawan ini mampu menghasilkan
susu segar sebanyak 23.000 hingga 25.000 liter
per hari. Sapi-sapi penghasil susu segar tersebut
merupakan bagian dari ribuan ekor sapi yang
berada pada fase laktasi.
KPPC memiliki dua pusat lokasi usaha, yakni
di Kampung Papakmangu, Cibodas, Pasirjambu,
Kabupaten Bandung dan Kampung Belapati,
Desa Parongpong, Bandung Barat. Namun,
sebenarnya para perternak sapi perah itu
tersebar di sejumlah lokasi, yakni Lembang,
Parongpong, Cisarua, dan Ciwidey.
Selain itu, KPPC juga memiliki empat unit
usaha yang tersebar di beberapa lokasi. Unit
usaha pertama berupa penampungan dan
pendinginan susu sapi segar yang berada di
Parongpong. Proses pendinginan menggunakan
PHE dengan kapasitas mencapai 3.000 liter per
jam. Sementara daya tampung dan pendinginan
susu mencapai 15.000 liter.
Unit usaha kedua berada di Ciwidey, berupa
pabrik pakan ternak. Unit usaha ini disertai
usaha penampungan dan pendinginan susu
segar, lengkap dengan unit pendinginan yang
memiliki daya tampung hingga 5.000 liter.
Unit usaha ketiga adalah unit usaha peternakan
sapi perah di Cibodas. Unit usaha ini juga
dilengkapi dengan pendinginan susu dengan
daya tampung 1.000 liter. Sedangkan unit usaha
keempat KPPC berada di Cisarua, berupa usaha
penampungan dan pendinginan susu.
“Selain itu, KPPC juga masih memiliki unit
usaha lain yang baru mulai tumbuh. Unit ini
menghasilkan produk turunan susu seperti
yoghurt, permen susu, dan dodol susu,” ujar
Ronald dengan bangga. Semua usaha yang
dilakukan KPPC ini mampu meraih omzet Rp
2 miliar setiap bulan. Dari total pendapatan itu
keuntungan bersih yang diraih KPPC mencapai
Rp 1,5 miliar per tahun.
Ronald berharap agar ke depannya KPPC
tidak hanya mampu menyalurkan susu segar,
tetapi juga mampu memproduksi produk susu
dengan merek sendiri. Produk susu yang di
maksud antara lain adalah susu segar siap minum,
yoghurt, dan es krim. “Kami punya ide
untuk membuat warung susu segar KPPC, dengan
membentuk koperasi sendiri. Namun,
masih terdapat keterbatasan dana dalam
mewujudkannya,” jelas Ronald. Hingga memasuki
pertengahan 2011, KPPC tengah berusaha
membawa usaha peternakan ini menjadi
penyedia sekaligus penyebar virus gemar susu
segar di masyarakat, terutama masyarakat
perkotaan di Indonesia.
DARI MENARA GADING KE KANDANG SAPI
Sebelumnya, peternakan sapi merupakan dunia
yang asing bagi Ronald. Tak pernah terbayangkan
sama sekali bahwa dalam perjalanan
hidupnya ia akan berurusan dengan “kandang
sapi”. Sebagai orang kota yang lebih banyak tinggal
di “menara gading”, hingga setahun sebelum
berkutat dengan usaha peternakan sapi, pria
kelahiran Palembang, 25 Desember 1963 ini belum
tahu sedikit pun tentang sapi.
Semua berawal tahun 2008. Saat itu, tak lama
setelah meninggalkan profesinya sebagai bankir
mapan yang telah dijalaninya 20 tahun, Ronald
mengunjungi sahabatnya di Missouri, Amerika
Serikat, yang bergerak di bidang peternakan sapi
perah. Di negeri itulah untuk kali pertama dalam
hidupnya ia mengenal usaha peternakan sapi perah.
“Saya memang baru mengenal dunia sapi
perah di tempat sahabat saya. Di negeri orang,
pula. Itu pun baru kulitnya. Pengetahuan saya
tentang usaha ini baru bertambah setelah rajin
membaca buku-buku tentang ternak sapi,
produk susu segar, dan produk turunannya,”
katanya.
Dalam sebuah buku yang sempat dibacanya,
Ronald menemukan informasi yang mengejutkan.
Suatu hasil studi menunjukkan adanya korelasi
yang meyakinkan antara negara-negara yang
berhasil menjadi peserta Piala Dunia Sepakbola FIFA
dengan jumlah volume susu yang dikonsumsi
penduduknya. Intinya, penduduk negara-negara yang
berhasil menjadi langganan peserta pesta olah
raga sepakbola kelas dunia itu konsumsi susunya
paling sedikit mencapai 30-50 liter per kapita per
tahun. Demikian juga negara-negara yang merajai
Olimpiade.
“Cina melakukan revolusi (minum) susu
pada tahun 1986. Tahun 2006 mereka juara
Olimpiade. Indonesia rata-rata baru 10 liter per
tahun. Itu pun 70 persennya bukan susu segar
tapi susu formula yang nutrisinya lebih rendah
dibanding susu segar dan bahannya diimpor dari
negara lain. Kita masih kalah dengan Vietnam
yang konsumsi susu segarnya sudah mencapai
11 liter per penduduk per tahun,” paparnya.
Ronald yang pernah menduduki jabatan tinggi
di sejumlah bank dan lembaga keuangan lain ini
kemudian melanjutkan penggaliannya tentang
dunia sapi perah.
Jenuh bekerja di lembaga keuangan yang
cukup bergengsi di Jakarta, Marketing &
Business Development Director itu memilih
jalan ekstrem. Dia meninggalkan Jakarta lalu
beternak sapi. Tahun 2009, penyandang gelar
S2 di bidang bisnis dari School of Business pada
University of the East Manila dan S1 Universitas
Advent Indonesia ini membeli 30 ekor sapi
secara bertahap.
Namun karena tak memiliki pengalaman,
Ronald langsung menghadapi sejumlah masalah.
Produk susu segar yang dihasilkan sapi-sapinya
mengecewakan. Sialnya lagi, pasar dikuasai oleh
kartel yang sangat merugikan peternak. Mereka
mengatur harga yang sangat rendah.
Ronald yang terlatih melakukan analisis
bisnis segera mencari tahu penyebabnya. Dia
menemukan bahwa rendahnya kuantitas maupun
kualitas produk susu sapinya bersumber
pada pakan sapi dan perawatannya. Ronald
mengaku bahwa dia hanya memberi pakan
sebagaimana peternak sapi lokal di sekitar
daerah usahanya. “Akibatnya, produk susunya
berkualitas rendah,” ujar Ronald menjelaskan.
Ronald pun bergerak mencari solusinya.
Setelah gagal dalam beberapa kali percobaan,
akhirnya Ronald berhasil membuat pakan sapi
yang tepat. Kuantitas dan kualitas susunya
meningkat signifikan, yakni sebesar 50 persen
dan secara bertahap menuju 100 persen.
Merasa berhasil, Ronald melangkah lebih
jauh. Dia membuat pabrik pakan sapi.
Rencananya, produk pakan ternaknya akan
ditawarkan kepada para peternak di sekitarnya.
Harapannya agar susu yang dihasilkan para
peternak meningkat kuantitas dan kualitasnya.
“Kalau produk susunya meningkat, penghasilan
peternak pasti akan ikut meningkat,” ujarnya.
Sayang, respons para peternak lokal tak
sesuai harapannya. Pasalnya, harga yang
ditawarkannya terlalu tinggi. Mereka tidak
memiliki cukup dana untuk membelinya. Ronald
kemudian memutar otak. Ia pun mencoba cara
lain. Menurut asumsinya, para peternak akan
bersedia membeli pakan buatannya jika produk
susu mereka juga dia beli. Ternyata benar,
predikat Ronald pun segera bertambah, yaitu
menjadi penampung susu.
Tak terlalu lama mencari, Ronald berhasil
mendapatkan pasar susu segarnya, yakni
PT Indolacto (dahulu bernama Indomilk).
Perusahaan susu formula ini bersedia menampung
susu segar KPPC hingga 25.000 liter
per hari. Setelah memperoleh pasar ini Ronald
merasa satu masalah di antara sejumlah
masalah yang dihadapinya mulai terpecahkan.
Dia juga merasa memperoleh isyarat
bahwa lambat atau cepat, berbagai masalah yang
dihadapi dunia usaha peternakan sapi
perah juga bisa dipecahkan.
MENYEBAR “VIRUS” KEMAJUAN
Meskipun berhasil menemukan pasar yang bagus
Untuk menyalurkan produk susu, Ronald menyadari
bahwa masalah yang dihadapi para peternak
lokal cukup rumit. Diantaranya ialah soal bibit sapi.
Selama ini peternak yang ingin memperoleh sperma sapi
harus mengeluarkan dana besar. “Saya katakan masalah
besar karena penghasilan peternak masih rendah, modal
mereka juga terbatas. Selain itu pendidikan mereka juga
tidak terlalu tinggi sementara semangat untuk tumbuh
menjadi peternak modern belum terbangun,” katanya.
Kedua, kebijakan pemerintah. Menurut Ronald,
bea masuk yang dikenakan terhadap susu impor
sangat rendah sehingga perusahaan susu formula di
Indonesia leluasa memproduksi susu formula
dengan harga murah. Dengan demikian, peternak sapi
perah lokal harus menghadapi masyarakat Indonesia yang
lebih mudah mengonsumsi susu formula daripada susu
segar.
Menghadapi berbagai masalah tersebut, Ronald kembali
memeras otaknya. Ia melihat bahwa sebagian peternak
lokal telah memiliki kelompok usaha bernama KPPC Cipta
Pratama. Ronald pun segera bergabung. Tujuannya agar
bisa melakukan berbagai kerja sama yang saling menguntungkan.
Dalam waktu sekitar 8 bulan Ronald dipercaya untuk
memimpin KPPC tersebut. Dua bulan kemudian, dengan
menambah investasi baru, Ronald mengambil alih KPPC
dari pengurus lama. Dengan investasi tersebut di
bentuklah unit pengolahan pakan ternak untuk
mengembangkan kelompok peternak sapi perah
di Desa Papakmanggu, Gambung, Pasirjambu,
Kabupaten Bandung.
Sejak saat itu, Ronald mulai menyebarkan
“virus” kemajuan. Namun untuk urusan ini
dia harus bekerja keras dan cepat. Maklumlah,
selain banyak peternak yang belum bersedia
bergabung, banyak anggota yang tidak siap
diajak ‘berjalan’ cepat.
“Pada umumnya peternak masih kerasan dengan
kebiasaan lama, seperti mencampurkan
air ke dalam susu sehingga kadar air pada susu
segar menjadi tinggi. Peternak seperti ini kami
sebut peternak nakal,” katanya.
Untuk menyadarkan peternak nakal, Ronald
menerapkan budaya yang hidup di kalangan
masyarakat Sunda, yaitu budaya malu. Dengan
budaya malu ini para peternak diajak
memberikan sanksi sosial terhadap peternak
yang tak jujur. Kalau ada yang ketahuan,
sanksinya harus dikucilkan.
“Sebaliknya, peternak yang berhasil menjaga
kualitas harus diberi penghargaan. Bagi
masyarakat pedesaan yang masih menjunjung budaya
malu, mengalami pengucilan adalah hal yang
menakutkan,” katanya.
Ternyata cara tersebut cukup ampuh dan
menguntungkan. KPPC bisa membangun mekanisme
kontrol. Dengan pendekatan kultural pula,
cara berorganisasi yang lebih modern mulai
ditanamkan.
“Sementara untuk meningkatkan kualitas
susu, KPPC menempuh jalan penyadaran akan
pentingnya kebersihan kandang pada saat proses
pemerahan,” kata Ronald.
Selain itu, KPPC juga terus berusaha menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya menjaga
lingkungan, termasuk sungai, dari pencemaran
limbah sapi. Terkait hal ini, KPPC menggandeng
berbagai kelompok pengolah limbah sapi. “Limbah
dijadikan pupuk atau produk lain. Hanya
saja hal ini masih sulit karena banyak peternak
yang belum bergabung ke KPPC,” tuturnya.
Untuk kenyamanan usaha, Ronald menambah
berbagai fasilitas seperti kesehatan ternak,
termasuk jumlah dokter hewan, selain petugas
kesehatan yang mengontrol kesehatan sapi. “Ini
juga sangat penting kami lakukan agar kualitas
susu sapi tetap terjaga,” katanya.
Ronald juga membawa kemajuan untuk urusan
permodalan. Selain pinjam ke bank bjb untuk
pengembangan usahanya, Ronald juga menyediakan
KPPC sebagai penjamin untuk para peternak.
Dari modal tersebut peternak anggota
KPPC mampu membeli sapi perah. Dengan
banyaknya sapi perah maka semakin banyak
pula tampungan susu di KPPC. Pengembalian
pinjaman modal kepada bank bjb dilakukan
dengan sistem angsuran, dan anggota KPPC
membayar angsuran dari hasil susu yang
diperoleh. Dengan cara ini, dunia perbankan
pun mulai melihat bahwa dunia peternakan
bisa menjadi pasar bagi produk-produk kredit
mikro.
REVOLUS SUSU!
Ronald mengakui bahwa ia masih baru dalam
usaha peternakan sapi perah. Namun bagi dia,
waktu dua tahun telah membimbingnya untuk
melihat dan melakukan sesuatu yang berguna
bagi kalangan peternak dan masyarakat luas.
Saat ini semua pengolahan susu masih dilakukan
secara tradisional. Perlahan namun pasti,
Ronald mengubah cara-cara tradisional tersebut
dengan memberikan penyuluhan peningkatan
kebersihan. Ronald menyarankan agar
kandang dan ternak dibersihkan dengan
menggunakan air hangat dan tempat pemerahan sapi
dibersihkan menggunakan ember alumunium.
Selain itu, Ronald memberikan penyuluhan
agar memperpendek waktu dari pemerahan
hingga penyetoran. Lebih cepat tiba di tempat
penyetoran maka dapat langsung didinginkan
guna mencegah pertumbuhan bakteri. KPPC
juga menyediakan mantri hewan gratis bagi
setiap anggota untuk menjaga kesehatan dan
kesuburan ternak mereka.
Pembelian susu dari peternak dilakukan
dengan membuat kelompok yang terdiri dari
40 orang. Dari setiap kelompok tersebut KPPC
membeli susu seharga Rp l00 per liter per hari.
Jadi, jika hari ini jumlah produksi KPPC 20.000
liter per hari maka dana yang disiapkan oleh
KPPC adalah Rp 2 juta.
Setidaknya konsep, metode, proses, dan
orientasi usaha KPPC yang dilakoninya sudah
mulai membuka mata banyak orang bahwa
usaha peternakan sapi perah bisa berkembang,
maju, dan menguntungkan. “Memang enggak
gampang. Bahkan masalahnya cenderung kompleks.
Tapi itulah tantangannya,” katanya.
Untuk mengurai berbagai masalah dan menemukan
solusinya, Ronald memanfaatkan pengalaman
yang dia peroleh di dunia perbankan
dan keuangan, ditambah kemauannya membaca
berbagai buku. “Kalaupun seperti trial and error
ya mohon dimaklumi. Tapi bukankah dunia
nyata menuntut kita belajar dari kesalahan?”
ujarnya.
Menghadapi peternak dengan kultur agraris
yang kuat, katanya, hanya ada satu cara, yakni
memberi contoh dan terus meyakinkan bahwa
mereka bisa melakukan yang lebih baik dari
sebelumnya. “Yang penting mata peternak
terbuka bahwa ada hal lebih baik yang bisa
mereka lakukan,” katanya. Misalnya, mengubah
pakan sapi yang tidak bernutrisi menjadi pakan
yang bernutrisi karena sangat berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas susu.
Pada sisi pemasaran Ronald mencari penampung
susu besar, seperti perusahaan susu formula.
Ronald juga memelopori pembuatan produk
turunan dan penjualan susu segar secara
eceran. “Penjualan eceran ini penting bagi
peternak susu. Selain membuka peluang usaha
bagi masyarakat, juga menjadi awal dimulainya
revolusi susu di Indonesia,” ujarnya. Upaya itu
akan dilanjutkan dengan berdirinya rumah
susu di berbagai kota dan lokasi. Rumah susu
ini nanti akan menjadi semacam distributor
yang membuka peluang usaha bagi masyarakat
sekaligus menyebarkan virus Revolusi Susu,
yakni pentingnya mengonsumsi susu sebanyak
40-50 liter per kapita per tahun.
“Kalau ide yang sudah kami rintis ini kelak
menjadi gerakan, maka berbagai persoalan
utama peternak akan teratasi. Selain itu bangsa
Indonesia juga akan memetik manfaat dalam
hal kesehatan dan kecerdasan,” ujarnya seraya
menekankan pentingnya peningkatan konsumsi
susu segar di masyarakat karena susu segar jauh
lebih bernutrisi dibandingkan susu formula.
Untuk mewujudkan revolusi susu ini KPPC
tengah merintis sejumlah kerja sama dengan
pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Ronald
juga segera mengusulkan kepada pemerintah
pusat untuk membuat kebijakan tentang susu
impor yang tidak merugikan peternak sapi.
“Pemerintah juga perlu mulai mengenal pentingnya
asupan susu segar bagi rakyat, terutama
di kalangan anak-anak, balita, pelajar, serta
mahasiswa,” katanya.
MANAJEMEN USAHA
Saat ini, Ronald memiliki dua impian besar
untuk mengembangkan usahanya. Pertama,
memiliki tanah yang dapat menampung sapi
kelompok peternaknya. Kedua, mendirikan pabrik
untuk memproses susu sendiri. Ronald
berharap agar kelompok peternaknya dapat fokus
beternak, kemudian menjual dengan harga
yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan mimpi
tersebut, sistem usaha harus diperbaiki.
Pertama, kinerja karyawan dan peternaknya.
“Sudah ada di pikiran saya untuk memakai
tenaga profesional, tetapi tidak mudah, terutama
yang mau bekerja full time dan tetap masuk
Sabtu dan Minggu bila dibutuhkan,” ujarnya.
Sementara peternaknya, hanya diambil dari
sekitar Lembang. Upah yang diberikan disesuaikan
dengan banyaknya susu yang dihasilkan.
Peningkatan kemampuan peternak, dilakukan
melalui pelatihan dan diskusi. Ia mendatangkan
tenaga pelatih dari organisasi peternakan
bernama PUM Netherlands. “Saya browsing di
internet, melalui website-nya saya submit
aplikasi mengenai UKM saya. Setelah
melalui dua kali wawancara, akhirnya
saya berhasil mendatangkan seseorang untuk
memberikan konsultasi kualitas susu ke sini,
gratis, semua biaya ditanggung PUM,” jelasnya
bangga.
Selain pelatihan, ia juga melakukan pengawasan
terhadap para peternaknya. Ronald
mengaku pekerjanya ada yang pindah ke kelompok
pesaing karena pilihan sendiri dan ia
harus mencari seseorang yang dapat menjadi
penyelia. “Saya meminta adik istri saya bergabung,
karena dia bisa mengerti bahasa penduduk,” jelasnya.
Selanjutnya ia memperbaiki sistem usahanya.
Pertama, dalam hal social engineering, ia
mengubah perilaku peternak menjadi modern dengan
menanamkan pola pikir bahwa susu adalah
konsumsi manusia. Karena itu, kebersihan dan
kualitas susu harus benar-benar dijaga. Kedua,
sistem manajemen untuk menjaga loyalitas
karyawannya.
Ronald berharap dengan melakukan perbaikan,
mimpi-mimpinya dapat terwujud. Paling
tidak target sederhananya, yaitu semua
orang bisa minum susu dengan harga yang lebih
murah dengan kualitas terbaik.
Suatu malam pada bulan Juni 2011, di lokasi
peternakan sapi perah KPPC di Cisarua
yang dingin, Ronald H. Sinaga, mantan
bankir profesional itu, memandangi langit di
atas deretan kandang yang penuh bintang.
Ia membuktikan bahwa usaha peternakan
sapi perah dan susu segar bisa meningkatkan
kehidupan peternak. Bahkan dari kandang
sapi, virus Revolusi (Minum) Susu mulai ia
sebarkan.
Catatan Rhenald Kasali
SERING KALI TERLIBAT dalam kegiatan usaha bukanlah murni soal uang atau
menitipkan hari tua. Ada kalanya Anda juga dituntut melakukan perubahan.
Ya, perubahan. Sebuah transformasi sosial. Kalau ingin usaha Anda
maju maka Anda pun dituntut memajukan masyarakat. Bukankah dari masyarakat
itu Anda mendapatkan rasa aman (keamanan), bahan baku, tenaga kerja,
pembelaan saat terjadi gangguan, dan seterusnya.
Bayangkan apa jadinya bila kementerian pendidikan salah urus tenaga kerja
Kita? Sekarang ini saja semua pangusaha sudah merasakan akibatnya yaitu
tenaga-tenaga kerja yang tidak siap pakai. Belum lagi masalah kesehatan,
investasi sosial, kesejahteraan (listrik, fasilitas jalan, poliklinik dan
seterusnya). Anda juga dituntut melatih keterampilan mereka dan
memperbaikinya. Bukankah tenaga-tenaga penyuluh pertanian dan peternakan
sudah lama menghilang?
Ada kalanya, sistem ini sengaja dipertahankan oleh mereka yang mendapat
keuntungan-keuntungan jangka pendek. Tengkulak, lintah darat, dan politisi
atau birokrat-birokrat yang korup. Mereka mempertahankan masalah agar
terjadi ketergantungan dan masalah dijadikan proyek abadi. Maka demi
kecintaan Anda pada Sang Merah Putih, lakukanlah perubahan.
Ronald H. Sinaga ingin mendulang keuntungan, namun caranya harus berbeda.
Ia tidak menjadikan masalah sebagai peluang dengan mengabadikan masalah itu
sebagai proyek abadi, melainkan mengubahnya menjadi masyarakat yang
sejahtera yaitu masyarakat yang lebih mengerti, lebih mandiri dan lebih
sehat. Ia mengubah masalah masyarakat yang bukan menjadí kewajibannya
untuk mendapatkan dukungan, kepercayaan dan kredibilitas. Ia memberikan
pelatihan, memperbaiki mata rantai, dan memberi perhatian.
Perbaikan masyarakat mutlak dilakukan usahawan, di desa maupun di kota.
Bäyangkan bagaimana sehatnya negeri ini kalau semua orang mau
Melakukannya…
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
Marcell, Mantan Pegawai Bank Ini Kini Raup Omzet Milyaran dari Bisnis Sapi Perah dan Sapi Potong
Marcell Diaz sudah menekuni bisnis
peternakan sapi perah dan sapi
potong sejak tahun 2008. Dengan
luas lahan peternakan mencapai 20
hektare (ha), ia kini mengantongi
omzet hingga Rp 3 miliar per bulan
dari usaha peternakan ini.
Perkenalannya dengan dunia
peternakan berawal dari
keterlibatannya membenahi
peternakan milik saudara iparnya di
Kalimantan Barat pada tahun 2005.
Kala itu, kondisi peternakan saudara
iparnya itu nyaris bangkrut. “Waktu
saya ke sana, yang tersisa hanya
enam ekor sapi dengan grade C,”
tutur Marcell.
Saudaranya sudah tidak berniat
meneruskan peternakan tersebut
dan hendak menjual. Namun,
Marcell berpikir sayang jika
peternakan tersebut dijual.
Sebagai seorang tenaga ahli
pemasaran di sebuah bank asing
ternama di Jakarta, Marcell pun
membantu membenahi pengelolaan
peternakan sapi tersebut hingga
bisa pulih.
Marcell membantu melakukan
pembenahan, terutama dari sisi
keuangan yang memang dia kuasai.
Berkat bantuannya, akhirnya
peternakan itu bisa berkembang dan
berjalan hingga sekarang. “Dari situ,
saya belajar banyak mengenai
pengelolaan peternakan sapi,”
katanya.
Saat itu, Marcell masih belum
terjun ke bisnis peternakan. Ia
masih bekerja di bank asing di
Jakarta. Sampai suatu ketika, anak
keduanya mengidap penyakit
leukimia atau kanker darah.
Ia dan sang istri pun harus menjaga
anak mereka di rumah sakit secara
intensif. “Hampir setiap hari, kami
menginap di rumah sakit,” tutur
Marcell.
Merasa tak enak dengan tempatnya
bekerja karena sering izin, Marcell
dan istrinya yang juga bekerja di
bank asing memutuskan
mengundurkan diri dari jabatan
mereka pada tahun 2007.
Mereka fokus merawat anak hingga
tahun 2008. Lantaran sudah tidak
bekerja lagi, ia dan isterinya
memutuskan untuk hijrah dan
menetap di Kalimantan Barat.
Marcell pun terpikir untuk
membuka usaha sendiri supaya bisa
bekerja lebih fleksibel. Namun,
baru dua bulan berselang setelah
kepindahan mereka ke Kalimantan
Barat, anaknya yang mengidap
leukimia meninggal dunia. “Anak
saya adalah sumber inspirasi
terbesar saya dalam membangun
peternakan,” tuturnya.
Marcell terinspirasi membangun
usaha peternakan sapi perah agar
dapat menghasilkan banyak susu
sapi murni. Ia menuturkan,
perkembangan penyakit kanker
sangat tergantung pada imunitas
anak.
Sementara, sistem kekebalan tubuh
bisa ditingkatkan melalui susu sapi
murni yang benar-benar segar.
Maka, pada tahun 2008, Marcell
membangun peternakan sapi di
bawah bendera usaha PT Cesna
Agro Borneo.
Kini, luas lahan peternakannya
sudah mencapai 20 hektare yang
berpusat di Kalimantan Barat.
Sementara, cabang usahanya ada di
Tangerang dan Bandung.
Total sapi perah peliharaannya kini
mencapai 170 ekor yang mampu
memproduksi 1.500 liter susu per
hari. Sementara, jumlah sapi
pedagingnya sudah sebanyak 2.000
ekor. “Omzet saya Rp 3 miliar per
bulan,” ujarnya.
Sukses yang diraih Marcell Diaz
dalam membesarkan usaha
peternakan sapi penuh dengan lika-
liku. Banyak sekali hambatan dan
tantangan yang ditemuinya saat
awal-awal merintis usaha.
Terkait dengan modal usaha,
misalnya, permohonan kreditnya ke
bank tak kunjung dikabulkan.
“Pengajuan kredit saya seringkali
ditolak,” katanya.
Padahal, Marcell sangat
memerlukan bantuan modal buat
mengembangkan usahanya. Salah
satu kendala pencairtan kredit
karena pihak bank di Kalimantan
masih bergantung dari Jakarta
dalam pengambilan keputusan.
Meski usahanya memiliki prospek
yang cerah, tapi bank di sana tetap
tak berani memberi pinjaman jika
tak ada izin dari kantor pusat.
Agar komunikasi dengan kantor
bank pusat lancar, Marcell pun
pernah membiayai petinggi sebuah
bank dan tenaga ahlinya terbang
dari Kalimantan ke Jakarta. “Saya
biayai ke Jakarta, meeting sampai
tiga hari, tapi ternyata tetap tidak
ada solusi,” ujarnya.
Alhasil, Marcell pun batal
meminjam dana di bank tersebut.
Pernah juga ia mencoba
mengajukan proposal pinjaman ke
bank lain. Namun, dari total
pinjaman yang diminta, yang
dikabulkan hanya 1%. “Saya ajukan
pinjaman Rp 7 miliar, yang
diberikan hanya Rp 70 juta,”
tuturnya, sambil tertawa.
Ia mengaku, tetap mengambil
pinjaman itu namun segera
dilunasinya. Pinjaman itu adalah
satu-satunya pinjaman bank yang
pernah ia peroleh.
Selain terkendala modal, ia juga
kesulitan memperoleh tenaga kerja
yang mumpuni di bidang
peternakan. Meski begitu, ia tak
cepat menyerah dengan kondisi
yang ada. “Masalah terberat juga
terkait dengan sumber daya
manusianya,” tutur Marcell.
Karyawan yang bekerja di
peternakannya maksimal lulusan
sekolah menengah atas (SMA). Itu
pun ijazahnya kebanyakan kejar
paket C.
Selain berpendidikan rendah,
pengalaman para pekerjanya juga
minim. Marcell pun sering turun
tangan melatih para pekerjanya.
“Solusinya, saya yang belajar, lalu
saya terapkan ke para staf,”
ujarnya.
Marcell banyak menimba ilmu
melalui internet, membaca buku,
dan bertukar pendapat dengan
orang lain. Lulusan Pasca Sarjana
Ekonomi di Bond University,
Australia ini juga sering melakukan
studi banding.
“Sesekali saya mengunjungi
peternakan teman di Australia untuk
belajar,” ujarnya. Kebetulan,
sejumlah temannya di Australia
memiliki peternakan besar.
Melalui studi banding itu, ia banyak
mengambil pelajaran penting
seputar manajemen pengelolaan
peternakan secara modern. “Yang
membuat kami berhasil adalah
fighting spirit dan bantuan tangan
dingin istri,” ujar Marcell.
Sejak tahun 2008, Marcell Diaz
sudah menekuni bisnis peternakan
sapi perah dan sapi potong di
Kalimantan Barat. Ia terinspirasi
membangun usaha peternakan itu
agar bisa menghasilkan banyak susu
sapi murni.
Inspirasi itu dia dapat setelah salah
satu anaknya yang mengidap
leukimia meninggal dunia.
Menurutnya, perkembangan
penyakit kanker sangat tergantung
pada imunitas anak. “Imunitas anak
bisa ditingkatkan lewat susu sapi
yang benar-benar segar,” katanya.
Terlebih, di Kalimantan Barat
(Kalbar) belum ada peternakan sapi
yang fokus memposisikan diri
sebagai penyedia susu sapi segar.
Padahal, permintaan masyarakat
cukup tinggi.
Makanya, sejak awal Marcell
berambisi menjadi penyedia susu
sapi segar terbesar di Kalbar. Ia
menargetkan, keinginannya itu
sudah bisa terealisasi tahun ini
juga. “Saya ingin pengembangan
peternakan sapi ini posisinya ke
sapi perah,” tutur Marcell.
Sampai saat ini, peternakan sapinya
belum sepenuhnya fokus ke sapi
perah. Soalnya, ia juga masih
mengembangkan peternakan sapi
potong. Ke depan, porsi sapi perah
akan dia tingkatkan.
Sekarang, Marcell baru memiliki
170 ekor sapi perah. Dalam sehari,
seekor sapinya bisa menghasilkan
10 liter hingga 40 liter susu.
Dengan 170 ekor, paling tidak bisa,
dia menghasilkan 1.500 liter susu
dalam satu hari.
Marcell telah mengkalkulasi, bahwa
kebutuhan masyarakat Kalbar
khususnya anak-anak sekolah dasar
akan susu sapi paling tidak 6.000
liter per hari. “Saya harus bisa
memenuhi kuota sebesar enam ton
susu sapi di tahun 2013 ini,” imbuh
dia.
Jumlah tersebut bukan sekadar
target. Melainkan, harus dia penuhi
lantaran sudah terikat kontrak
dengan Pemerintah Provinsi Kalbar.
Dalam kontrak itu, ia menyanggupi
untuk menyediakan susu sapi segar
sebanyak 6 ton sehari.
Menurut Marcell, meningkatkan
produksi susu sapi segar hingga
hampir empat kali lipat, jelas bukan
perkara yang gampang. “Butuh
strategi, kecukupan dari sisi
finansial, peralatan, dan tenaga
kerja,” tegasnya.
Untuk itu, ia telah menyiapkan
sejumlah rencana. Dari sisi
finansial, sebagai diversifikasi,
Marcell pun menyediakan sapi
pedaging di peternakannya. Dia
memiliki 1.000 hingga 2.000 ekor
sapi pedaging di peternakannya.
Daging-daging sapi tersebut
kebanyakan ia ekspor ke Malaysia.
“Harga jual ke Malaysia lebih
tinggi,” akunya. Meski begitu, tetap
ada sebagian daging yang dia jual
ke wilayah Jabodetabek, Bandung,
dan Kalimantan.
Selain itu, Marcell juga tengah
melebarkan usahanya ke sektor
properti. Ia telah memiliki sejumlah
lahan yang akan ia dirikan properti.
Sedang dari sisi sumber daya
manusia (SDM), ia terus
meningkatkan keterampilan para
karyawannya.
Untuk bisa sukses dalam sebuah
bisnis, dia memberi tip: perlu
pengetahuan mengenai produk yang
dipasarkan alias product knowledge.
Apalagi, bila produknya tergolong
berisiko seperti susu segar.
Sebab, susu sapi segar maksimal
hanya bertahan selama 14 hari
dengan suhu -4 derajat Celcius.
Sementara, jika ia memproduksi
susu kental manis atau susu bubuk,
produknya bertahan paling tidak
satu tahun.
Namun, susu sapi segar jauh lebih
baik karena kandungan di
dalamnya, seperti vitamin, kalsium
dan sebagainya, masih murni dan
bukan tambahan. Dengan product
knowledge yang baik, Marcell yakin
bisa bersaing di pasar susu.( Revi Yohana)
sumber: http://mobile.kontan.co.id/news/marcell-berambisi-jadi-pemasok-susu-terbesar-3/2013/01/21
Dedih, Bermula dari 20 Ekor Indukan Kelinci, Kini Hasilkan 400 Kelinci Hias per Bulan dengan Omzet Puluhan Juta
Jakarta – Berternak bagi sebagian
orang mungkin suatu hal yang
merepotkan dan sering dipandang
tidak menjanjikan sebagai peluang
bisnis yang menguntungkan.
Padahal apabila jeli, lewat
berternak banyak orang yang
sukses dibisnis ini.
Yang menjadi masalahnya adalah
sejauh mana kita memanfaatkan
peluang atau bidang hewan apa
yang kita akan geluti untuk
dikembangbiakan.
Nah, ini ada kisah pengalaman
Dedih pemilik Rabbit Collection
yang sudah 10 tahun lalu
menggeluti bisnis ternak kelinci.
Hasilnya cukup lumayan.
Bermula dari lahan seluas 200
meter persegi dipekarangan
rumahnya kawasan Cianjur,
Puncak. Ia memberanikan diri
untuk membeli 20 ekor kelinci
indukan sebagai modal awal
usahanya.
Sekarang ini, dari 20 ekor indukan
kelinci itu sudah dihasilkan ribuan
ekor kelinci yang telah dijualnya
dan menghasilan jutaan rupiah
yang masuk ke kantongnya.
“Dulu saya memulainya dari 20
indukan, dari 10 induk kelinci
jantannya cuma 2, terus
berkembang sampai sekarang,”
ujar Dedih.
Dedih menambahkan sekarang ini
setidaknya setiap bulan, ia mampu
menghasilkan 300 sampai 400
kelinci yang dijual ke berbagai
kota di Indonesia terutama di
wilayah Jawa Barat dan sekitarnya
seperti Indramayu, Cikarang,
Cirebon dan lain-lain.
Kelinci yang dikembangkan oleh
Dedih bukan sembarang kelinci.
Tetapi kelinci-kelinci hias yang
memiliki daya jual yang tinggi,
meskipun ia juga mengembangkan
kelinci pedaging khususnya kelinci
lokal.
Yang menyenangkan dari beternak
kelinci, tingkat produktifitas dari
setiap indukan sangat tinggi.
Dalam 1 sampai 2 bulan setiap
indukan akan bisa hamil kembali
dengan jumlah anak kelinci setiap
kelahirannya mencapai 1 lusin
lebih. Dalam usia 2,5 bulan
kelinci-kelinci sudah siap dijual
kepasaran.
“Kawin dalam sebulan bisa terjadi,
keluar dari masing indukan paling
banyak 13 sampai 14 ekor, paling
jelek 5 atau 6 ekor,” ujar Aditya
Eka Yulian salah seorang rekan
Dedih.
Harga kelinci hias yang Dedih jual
bervarasi. Kelinci Anggora yang
harga termurahnya Rp 100.000,
kelinci Giant harga termurah Rp
150.000, kelinci Rax Rp 250.000,
kelinci Fuzilup Rp 300.000 dan
kelinci lokal yang hanya 50.000.
Dedih mengaku omset usaha
ternak kelincinya bisa mencapai
Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per
bulan. Dengan memiliki 4
karyawan yang setia
membantunya, ia berhasil menjadi
wirausahawan yang mampu
menciptakan lapangan kerja bagi
orang lain.
Untuk memulai bisnis ini, menurut
Dedih tidaklah susah. Yang penting
adalah ketelatenan dari peternak,
selain itu juga jangan lupa untuk
terus menimba wawasan mengenai
kelinci terutama dalam hal
persilangan spesies kelinci.
Dedih merinci, dengan bermodal
20 ekor kelinci indukan, yang
harga per ekornya mencapai Rp
500.000 sampai Rp 700.000 per
ekornya, ia sudah bisa memulai
bisnis ini. “Memilih indukan yang
baik itu sangat penting,” pesannya.
Namun jangan lupa, untuk
investasi ini juga harus
menyiapkan lahan dan kandang
yang cukup sebagai
tempat untuk berternak. Untuk
kandang bisa membuat kandang
yang sederhana yang terbuat dari
kayu dengan sirkulasi yang cukup
dan luas penampang yang
memadai.
Dengan modal kira-kira Rp 15 juta
untuk indukan dan kandang
sebenarnya sudah bisa memulai
bisnis ini. Sedangkan untuk urusan
pakan tidak harus pusing-pusing
karena dengan rumput-rumput
layu sudah bisa membuat kenyang
para kelinci.
Bagi yang tinggal diperkotaan
tidak perlu khawatir, Anda bisa
memanfaatkan sisa-sisa sayuran
dipasar seperti daun jagung bisa
menjadi pilihan pakan yang
digemari kelinci.
“Ternak kelinci biasanya
terkendala dengan angin dan
hujan, kelinci-kelinci bisa
kembung. Enggak usah diberi
makanan yang masih segar, justru
yang harus layu kalau seger
mencret,” timpal Aditya.
Dikatakan Aditya, untuk merawat
kelinci tidak rumit, yang penting
kebersihan kandang menjadi
nomor satu. Mengingat kelinci
sangat rentan dengan penyakit-
penyakit yang disebabkan
lingkungan yang kotor.
“Kebersihan kandang utama,
sehari sekali harus dibersihkan,
penyakit yang paling sering
menyerang hanya korengan, itu
kalau kandangnya tidak bersih,”
jelas Aditya.
Dedih dan Aditya mengatakan
bahwa prospek pasar kelinci di
Indonesia cukup bagus. Terlebih
lagi, sekarang ini hampir semua
usia dari anak-anak hingga orang
dewasa menggemari kelinci
termasuk kelinci hias.
Bagi yang mengembangkan kelinci
lokal untuk pedaging, tidak
masalah sebab sekarang ini
permintaan kelinci lokal dari
restauran-restauran cukup tinggi
terutama untuk sate kelinci.( Suhendra)
Tertarik untuk menggeluti ternak
hewan imut-imut ini, silakan
hubungi:
Dedih dan Aditya Eka Yulian
Rabbit Collection
Jl. Pasir Kampung Sukatani, Pacet
Cianjur Jawa Barat
HP 085624687993
sumber: http://m.detik.com/finance/read/2008/08/19/114339/990703/480/
Jumadiarto, Wirausahawan Sukses Lewat Tepung Singkong ‘Wonocaf’ yang Setara Tepung Terigu
Singkong melimpah ruah di tanah Wonogiri. Namun, sejauh ini lebih sering dijual mentah sehingga nilai ekonomisnya sangat rendah. Saat harga cukup baik, harga singkong bisa mencapai Rp 1.500-Rp 3.000 per kilogram. Namun, saat panen, harganya jatuh hingga hanya Rp 600 per kilogram. Melihat ini, Jumadiarto (49), warga Desa Wonokarto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tergerak untuk mencari cara meningkatkan nilai ekonomis singkong, tanaman andalan di Wonogiri saat musim kemarau. Kondisi sebagian besar lahan pertanian di Wonogiri hanya dapat ditanami padi sekali setahun, sisanya palawija, terutama singkong. Tidak jarang juga lahan dibiarkan menganggur karena air yang sangat sulit. Produksi singkong dari Kabupaten Wonogiri rata- rata 1,2 juta ton per tahun. Jumadiarto lantas teringat kearifan lokal nenek moyang tentang khasiat berbagai tanaman serta ragi untuk membuat tempe, tahu, atau tape. Ia lantas memanfaatkan empat jenis bunga ditambah daun dan biji tertentu, tepung singkong, tepung beras, tepung ketan, serta sebuah formula yang masih dirahasiakannya. Bahan-bahan ini lantas diolah menjadi ragi atau enzim yang digunakan untuk mengolah singkong. ”Para nenek moyang kita itu sebenarnya jago bikin ragi atau enzim. Ini kekayaan kearifan lokal kita yang selama ini belum dikembangkan,” kata Jumadi, Minggu (25/11). Formula enzim yang kemudian diberi nama WRD751WNG ini sekarang tengah dalam proses pengajuan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Nama enzim itu merupakan singkatan dari Wiridan Jumadiarto Wonogiri yang artinya ide putra asli Wonogiri tersebut tidak lain berasal dari Sang Ilahi. Enzim yang ia temukan pada 2009 itu kemudian digunakan untuk mengolah singkong menjadi tepung yang setara dengan tepung terigu. Artinya, dapat digunakan sebagai pengganti terigu 100 persen. Tepung ini dinamakan Wonocaf, singkatan dari Wonogiri Cassava Fermented atau singkong yang difermentasikan. Proses produksi Cara pembuatannya, singkong kupas yang telah dicuci bersih kemudian diparut dan diberi enzim Wonocaf. Setelah didiamkan selama 12 jam, parutan singkong diperas untuk dipisahkan dari airnya. Ampas yang dihasilkan dijemur hingga kering selama dua hari lantas digiling dan disaring sehingga menjadi tepung Wonocaf. Hasil uji laboratorium Kementerian Pertanian di Bogor, Jawa Barat, menyebutkan, tepung Wonocaf mengandung 78,9 persen karbohidrat, sementara singkong mengandung 34 persen karbohidrat. Tepung ini juga tidak mengandung gluten sehingga aman bagi penderita autisme atau alergi. Jumadi pernah mempresentasikan temuannya itu di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong pada Maret 2011. Tidak hanya itu, limbah hasil pengolahan Wonocaf juga dapat dimanfaatkan. Limbah cair hasil perasan parutan singkong, setelah ditambah ragi jenis tertentu, dapat diolah menjadi produk sampingan yang tidak kalah nilai ekonomisnya. Limbah cair ini bisa untuk biofuel, cairan pemadam kebakaran, pupuk, minuman kesehatan bagi hewan, dan air pendingin radiator. Limbah hasil pengolahan ini masih dalam taraf pengembangan oleh Jumadiarto. Pria lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ciputat ini kemudian bermitra dengan Riyanto, pemilik Perusahaan Otobus Sedya Mulya untuk memproduksi secara massal tepung Wonocaf di bawah bendera CV Eka Mulya. Karena pengeringan ampas perasan singkong masih dilakukan dengan sinar matahari, produksi masih terbatas sebanyak 3,5 kuintal per hari. Proses produksi menggunakan tiga mesin parut yang untuk sementara ditangani seorang pegawai. Keduanya tengah memesan oven agar pengeringan ampas singkong yang telah difermentasi bisa lebih cepat. Diharapkan, produksi tepung bisa mencapai 3 ton per hari. Selain di Wonogiri, saat ini tepung Wonocaf juga dipasarkan ke Kota Solo, Semarang, dan Jakarta. Selain ke toko-toko roti, dipasarkan pula kepada keluarga yang anggotanya menderita autisme. Hotel Sahid Jaya, Solo, juga secara rutin menggunakan Wonocaf untuk berbagai resep kue buatan mereka. Tepung Wonocaf dipasarkan Rp 5.600 per kilogram. Pemerintah Kabupaten Wonogiri mendorong CV Eka Mulya mengambil pasokan tepung tapioka basah atau kering dari petani. Jumadiarto berani membeli tepung tapioka basah dan kering dari petani dengan harga Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Di sinilah petani yang mengolah singkongnya menjadi tepung tapioka akan mendapat nilai tambah dibandingkan sekadar menjual singkong mentah. ”Kami membentuk inti-plasma. Kami sebagai inti dan plasmanya tersebar di 25 kecamatan se-Kabupaten Wonogiri. Nantinya petani- petani yang tergabung di plasma ini yang akan memasok kebutuhan tepung tapioka. Kami juga membentuk Koperasi Tepung Wonocaf Indonesia,” kata Jumadiarto yang sebelumnya aktif sebagai konsultan di berbagai lembaga nonpemerintah.(Sri Rejeki) Editor: Laksono Hari W sumber: http://m.kompas.com/news/read/2012/12/08/07161053/jumadiarto.dan.tepung.singkong.rasa.terigu
Capek Jadi Pegawai, Sadarsah Sukses Jadi Eksportir Kopi Gayo
KOMPAS.com — Pengalaman
menjadi pemasar perusahaan
eksportir kopi membuat
Sadarsah paham betul
bagaimana cara jualan kopi dan
jenis kopi apa yang laku di
pasar. Nah, ketika seluruh dunia
lagi paceklik kopi pada 2006,
Sadarsah pun pindah kerja
dengan menjadi eksportir kopi.
Usaha ini berjalan mulus
dengan omzet miliaran rupiah
setiap bulan.
Kopi asal Indonesia sudah
terkenal di seluruh penjuru
dunia. Sebut saja kopi arabica
ataupun kopi robusta yang
banyak diburu pecinta kopi.
Kemudian ada kopi luwak yang
disebut-sebut sebagai kopi
terenak dan termahal di dunia.
Lantas ada juga kopi gayo di
Aceh. Kopi ini di luar negeri
juga terkenalnya seperti halnya
kopi luwak. Kopi gayo ini
adalah jenis kopi arabika yang
dikembangkan secara organik
oleh pekebun kopi di dataran
tinggi Gayo di Sumatra Utara.
Karena itu, kopi ini menjadi
salah satu kopi favorit di dunia.
Sebagai kopi favorit tentu
permintaan kopi ini juga tinggi,
baik di pasar dalam negeri
maupun pasar ekspor. Nah,
peluang ini menjadi eksportir
kopi gayo inilah yang dimainkan
dengan baik oleh Sadarsah.
Pria kelahiran Medan 19
November 1974 ini melalui CV
Arvis Sanada, perusahaan yang
ia dirikan pada 2006,
mengekspor kopi gayo ke
Amerika Serikat, Inggris,
Kuwait, Taiwan, Korea,
Australia, Jepang, dan Laos.
Saban bulan ia mengirim 15
kontainer kopi gayo ke berbagai
negara itu dengan omzet
minimal Rp 8 miliar.
Sadarsah mulai mengenal bisnis
kopi ketika lulus kuliah pada
2001. Ketika itu dia masih
menjadi tenaga pemasar di lima
perusahaan eksportir kopi di
Medan, Sumatra Utara. Setelah
hampir lima tahun bekerja,
alumnus Teknik Elektro
Universitas Muhammadiyah
Sumatra Utara (UMSU) ini mulai
memilih jalan untuk
berwiraswasta. “Dengan
memiliki usaha sendiri saya bisa
lebih bebas berinovasi dan
mengembangkan ide-ide,”
pungkasnya.
Pada 2006, dengan modal
pinjaman dari seorang teman,
Sadarsah mendirikan Arvis
Sanada di Medan. Dia perlu
membuat badan usaha karena
melihat peluang besar dalam
bisnis ekspor kopi. Apalagi
ketika itu dunia lagi paceklik
kopi.
Saat itu, nyaris seluruh
perusahaan kopi di dunia kolaps
lantaran pasokan kopi
berkurang 50 persen . Situasi
sulit inilah yang dibaca
Sadarsah sebaliknya. Bagi dia
kekurangan pasokan itu harus
dia isi. Apalagi dia tahu ada
produksi kopi yang melimpah
ruah di Tanah Gayo. Selain itu,
dia sudah paham betul seluk-
beluk ekspor kopi.
Ekspor perdana yang cuma satu
kontainer itu ternyata menjadi
pembuka pintu gerbang bagi
Sadarsah untuk memasuki
perdagangan kopi dunia. “Di
masa itu, langsung banyak
permintaan kopi. Rata-rata,
penikmat kopi dari luar negeri
menginginkan kopi organik,”
kata anak dari pasangan Mude
dan Ratih ini.
Sadar dengan peluang besar itu,
Sadarsah pun berupaya untuk
mendapatkan sertifikat kopi
organik dari lembaga sertifikasi
Control Union di Belanda.
Sertifikat ini diperolehnya pada
akhir tahun 2006.
Dengan modal tambahan berupa
sertifikat itu, ekspor kopi
Sadarsah pun makin lancar.
Hingga kini, Sadarsah
mengekspor dua jenis kopi,
yakni kopi gayo dan kopi
konvensional. Untuk kopi Gayo,
ia jual dengan merek Sumatera
Arabica Gayo dan merek
Sumatera Arabica Mandailing
untuk kopi konvensional.
Dengan mengusung slogan
“Quality, Trust, and
Excellence,” pertumbuhan
bisnis Sadarsah melesat bak
meteor. Kalau pada 2006,
omzet dia hanya Rp 600 juta
per bulan dengan kemampuan
ekspor kopi hanya satu
kontainer. Tahun berikutnya
omzet sudah melonjak drastis
hingga Rp 1,5 miliar per bulan.
Pada 2008, omzetnya naik lagi
menjadi Rp 3 miliar per bulan,
dan pada tahun lalu, Sadarsah
sudah berhasil ekspor 14
kontainer per bulan mencapai
omzet sebesar Rp 7,6 miliar.
Jika pada 2006 lalu Sadarsah
hanya mampu mempekerjakan
15 karyawan, saat ini jumlah
karyawan Arvis Sanada sudah
sebanyak 100 orang. “Sejak
2006 hingga 2011 ini harga
kopi antara Rp 30.000 hingga
Rp 35.000 per kilo,” terang
Sadarsah.
Digugat pengusaha Belanda
Sadarsah yakin usahanya akan
terus berkembang karena
potensi kopi gayo dan kopi
lainnya masih sangat besar.
Menurut Sadarsah hasil
perkebunan kopi di Kabupaten
Bener Meriah, Aceh Tengah dan
Gayo Lues, masih cukup untuk
menjawab kebutuhan kopi
dunia. Ketiga daerah yang
berada di ketinggian 1.200
meter di atas permukaan laut
(dpl) tersebut memiliki
perkebunan kopi seluas 94.800
hektare.
Keberhasilan Sadarsah, pemilik
CV Arvis Sanada, mengekspor
kopi gayo ke berbagai negara
memang tak semudah membalik
telapak tangan. Berbagai
rintangan harus ia lewati agar
bisa menjajakan kopi tanah
Andalas ke mancanegara.
Salah satu masalah terberat
yang pernah dihadapi Sadarsah
adalah keberatan atas merek
gayo yang dilayangkan
perusahaan kopi asal Belanda,
Holland Coffee, pada 2008
silam. Perusahaan itu
mengklaim, Sadarsah telah
menjiplak merek kopi produksi
mereka.
Holland Coffee secara terang-
terangan melarang Sadarsah
menggunakan kata gayo pada
merek kopinya, Arabica
Sumatera Gayo. Apalagi kopi
milik Sadarsah itu juga beredar
luas di Negeri Belanda.
Perusahaan itu menyatakan,
merek gayo pada kopi mereka
itu sudah terdaftar dalam
undang-undang merek di
Belanda. Karena itu,
penggunaan kata gayo oleh
Sadarsah dinilai melanggar
aturan merek di Belanda.
Tapi protes dari Holland Coffee
itu sama sekali tidak digubris
Sadarsah meski dia diancam
bakal diseret ke pengadilan
karena mencuri merek gayo
milik Holland Coffee. Namun
ancaman itu tak membuat
Sadarsah menyerah dengan
menghilangkan kata gayo.
Perusahaan Belanda itu sempat
patah arang melihat semangat
Sadarsah mempertahankan
merek gayo. Mereka pun
melunak tak akan lagi menuntut
Sadarsah asal mengganti merek
gayo dengan mandailing. Tapi
Sadarsah tetap menolak
permintaan itu.
Ia bilang, kata mandailing dan
gayo adalah nama daerah di
Sumatra. Jika kopi berasal dari
Mandailing, kopi itu disebut
dengan kopi mandailing. “Kalau
kopi itu dari Tanah Gayo
disebut kopi gayo,” terang
Sadarsah.
Ia mengaku tetap akan
mempertahankan kata gayo
pada kopi yang ia produksi itu.
Bagi Sadarsah, penggunaan kata
gayo sangat penting karena bisa
menentukan kualitas dan juga
bisa mempengaruhi harga jual.
“Bila kata gayo hilang,
konsumen tidak mengetahui
asal kopi itu sehingga harga
kopi bisa jatuh,” jelas Sadarsah.
Ia menyatakan, sebagai warga
negara Indonesia dirinya lebih
berhak menggunakan kata gayo
ketimbang orang Belanda yang
menggunakan kata itu. Apalagi
kata gayo adalah nama daerah
di Indonesia bukan nama
daerah di Belanda. “Saya lebih
berhak memakai kata gayo
ketimbang orang Belanda itu,”
tegas Sadarsah.
Adanya klaim atas merek gayo
milik pengusaha Belanda itu
dinilai Sadarsah telah
mendustai petani kopi gayo di
Aceh. “Tidak ada alasan bagi
pengusaha Belanda itu melarang
saya menggunakan kata gayo,”
ucapnya.
Walaupun dilawan pengusaha
setempat, Sadarsah tetap
ekspor kopi gayo ke Belanda.
Saban bulan CV Arvis Sanada
mengekspor empat kontainer
kopi gayo. “Saya tetap ekspor
walaupun Holland Coffee
menuntut saya,” ungkap
Sadarsah.
Sekadar pengetahuan, satu
kontainer mampu mengangkut
18.000 kg atau 18 ton kopi.
Untuk menyelesaikan sengketa
dagang itu Sadarsah sempat
melaporkannya pada Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia (AEKI)
dan pemerintah. “Pemerintah
dan asosiasi mendukung saya
agar tetap ekspor kopi gayo,”
jelas penggemar dangdut itu.
Untuk mempertahankan merek
gayo itu Sadarsah mengajukan
sertifikat asal-usul kopi. Baru
Mei 2010 dia berhasil
mengantongi sertifikat IG
(indikasi geogafis) dari
International Fair Trade
Organization (IFTO). Sertifikat
itu menyatakan Sadarsah
berhak memakai kata gayo pada
produk kopi miliknya yang
berasal dari Gayo.
Berkat sertifikat IG itulah
Sadarsah menjadi percaya diri
memperkenalkan kopi gayo ke
seluruh dunia. Oktober 2010 ia
membawa kopi gayo dalam
acara Lelang Spesial Kopi
Indonesia di Bali. “Kopi
Sumatera Arabika Gayo
mendapat nilai tertinggi saat
cupping score ,” katanya.
Prestasi itu memantapkan posisi
kopi gayo sebagai kopi organik
terbaik dunia. Ia bilang, prestasi
itu tak lepas dari masalah yang
berhasil ia hadapi. Termasuk
masalah sengketa merek. “Dulu
banyak yang tak kenal kopi
gayo, setelah sengketa merek
itu, kopi gayo malah jadi
terkenal,” terang bapak tiga
anak itu. (Ragil Nugroho/
Kontan )
sumber: http://m.kompas.com/news/read/2011/11/11/10512675/capek.jadi.pegawai..sadarsah.sukses.jadi.eksportir